Pengalihan kewenangan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) menjadi Pajak Kabupaten/Kota sudah menjadi isu nasional dan isu daerah sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam Undang-Undang tersebut antara lain disebutkan bahwa pengalihan kewenangan pemungutan PBB-P2 menjadi Pajak Kabupaten/Kota sudah dilaksanakan paling lambat 1 Januari 2014. Ada 2 (dua) alasan utama yang melatarbelakangi pengalihan kewenangan pemungutan PBB-P2 dari Pusat ini, antara lain :
1. Optimalisasi Pemungutan PBB-P2
Pemungutan PBB-P2 oleh Direktorat Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama yang tersebar di seluruh Indonesia dipandang belum optimal. Terbatasnya Sumber Daya manusia (SDM) yang ditempatkan pada lini bawah dan kompleksnya permasalahan yang berkaitan dengan administrasi perpajakan dan bukti kepemilikan hak atas tanah dan bangunan di masyarakat menyebabkan cukup banyak potensi PBB-P2 yang belum bisa dipungut secara optimal sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Di samping itu, pemungutan PBB-P2 selama ini lebih banyak terfokus pada pengenaan pajak terhadap objek bumi (tanah) dan belum maksimal menyentuh objek bangunannya. Objek bangunan yang telah didata dan dikenakan pajak sesuai dengan kriteria penilaian individual yang berlaku baru sebatas bangunan-bangunan besar yang diperuntukkan untuk kegiatan usaha seperti hotel dan bangunan besar di kawasan pariwisata, sedangkan bangunan dalam skala kecil seperti perumahan masih menggunakan metode penilaian masal sehingga teknis perhitungan pengenaan pajak bangunannya hampir seragam dan dirasakan belum optimal. Bahkan masih cukup banyak bangunan yang belum didata dan dinilai serta belum dikenakan pajak sama sekali, terutama yang dibangun setelah dilakukan pendataan dengan pola Sistem Manajemen Informasi Objek Pajak (SISMIOP) oleh Pusat. Dengan diserahkannya kewenangan pemungutan PBB-P2 ini kepada Daerah, maka Daerah diharapkan akan mampu berkreasi, berbuat lebih optimal dan mampu melakukan inovasi-inovasi untuk menggali potensi PBB-P2 yang dimiliki dalam rangka meningkatkan Pendapatan Asli Daerah yang secara langsung berpengaruh terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah dan kapasitas fiskal daerah.
2. Efisiensi dan Efektivitas Kinerja Direktorat Jenderal Pajak
Berdasarkan informasi dari Direktorat Jenderal Pajak, hasil pajak yang diperoleh dari sektor PBB-P2 tidak sampai 10% dari jumlah keseluruhan penerimaan negara yang berasal dari sektor pajak, di sisi lain permasalahan yang berkaitan dengan pengelolaan PBB-P2 sangat kompleks dan hampir menyangkut seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, PBB-P2 ini dianggap sebagai beban oleh Pusat sehingga dipandang akan lebih efektif apabila diserahkan kepada Daerah. Dengan adanya pengalihan kewenangan pengelolaan PBB-P2 menjadi pajak daerah ini, Direktorat Jenderal Pajak beserta seluruh jajarannya diharapkan akan bisa lebih fokus dan optimal untuk mengurus sektor pajak lainnya seperti Pajak penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPN-BM), Pajak Perkebunan, Pajak Perhutanan dan Pajak Pertambangan yang nilai penerimaannya secara keseluruhan maupun tiap objek pajaknya jauh lebih besar, jumlah subjek/objek pajaknya jauh lebih sedikit dan permasalahannya tidak sekompleks PBB-P2.
PROSPEK PENGELOLAAN PBB-P2 DI KABUPATEN TABANAN
Kebijakan pengalihan kewenangan pemungutan PBB-P2 ini cenderung menguntungkan bagi daerah yang berada di kawasan kota-kota besar karena di daerah-daerah tersebut Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tanahnya relatif cukup tinggi dan jumlah bangunan yang berskala besar lebih banyak sehingga berarti semakin besar potensi PBB-P2 yang bisa digali dalam rangka meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Sebaliknya, bagi Kabupaten/Kota kecil yang cukup tertinggal atau daerahnya cukup tandus seperti beberapa Kabupaten/Kota di Kawasan Indonesia Timur, kebijakan Pusat ini cenderung merugikan karena di daerah-daerah tersebut NJOP tanahnya relatif sangat rendah dan sangat sedikit dibangun hotel atau bangunan berskala besar lainnya. Dengan demikian, maka akan sangat sedikit potensi PBB-P2 yang bisa digali.
Berdasarkan informasi dari Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Bali, di Kawasan Indonesia Timur masih cukup banyak Kabupaten/Kota yang memiliki potensi PBB-P2 di bawah Rp. 1.000.000.000,00 (Satu Milyar Rupiah). Sebelum dialihkan menjadi Pajak Daerah, dalam beberapa tahun terakhir Kabupaten/Kota ini mendapat bagian rata PBB-P2 dari Pusat dengan nilai nominal yang sama dengan Kabupaten/Kota lainnya di seluruh Indonesia yaitu berkisar angka Rp. 3.000.000.000,00 (Tiga Milyar Rupiah). Ini berarti Daerah tersebut mendapatkan limpahan dana semacam subsidi silang yang cukup besar dibandingkan potensi yang dimiliki. Dengan dilimpahkannya kewenangan pemungutan PBB-P2 ini menjadi pajak daerah, beberapa Kabupaten/Kota di kawasan tersebut merasa sangat dirugikan sehingga sudah ada yang merencanakan untuk tidak akan melaksanakan kewenangan pemungutan PBB-P2 ini sampai batas waktu yang ditentukan 1 Januari 2014 karena potensi PBB-P2 yang dimiliki sangat kecil sedangkan biaya operasional per tahun yang dibutuhkan untuk pengelolaan PBB-P2 cukup besar. Belum lagi dikaitkan dengan beban biaya awal persiapan pengalihan kewenangan ini yang rata-rata lebih dari Rp. 3.000.000.000,00 (Tiga Milyar Rupiah), baik untuk persiapan dasar hukum pemungutan, kelembagaan, sumber daya manusia maupun sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Oleh karena itu, keputusan Daerah setempat dipandang cukup wajar untuk saat ini apabila dikaitkan dengan pertimbangan potensi, cost dan benefit.
Bagaimana prospek pengelolaan PBB-P2 oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan yang direncanakan akan dilaksanakan pada awal tahun 2013? Adalah sangat sulit untuk melakukan estimasi tentang prospek pengelolaan PBB-P2 di Kabupaten Tabanan dan cukup sulit juga membuat suatu perbandingan dengan menunjukkan angka-angka yang validitasnya tinggi tentang kondisi sebelum dan setelah diserahkan oleh Pusat mengingat masih belum akuratnya basis data PBB-P2 yang ada di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Tabanan. Data yang ada saat ini masih perlu diverifikasi kembali. Untuk memperoleh gambaran awal, kiranya perlu disajikan dan dianalisis data realisasi dan pembagian PBB-P2 di Kabupaten Tabanan pada Tahun Anggaran 2011 yang diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2000 tentang Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah adalah sebagai berikut :
JUMLAH KETETAPAN (POTENSI PBB-P2 DALAM SPPT) : Rp 16.080.300.678,00 (1)
JUMLAH SKB (TARGET) : Rp 9.704.083.718,00 (2)
REALISASI : Rp 12.316.759.278,00 (3)
PERSENTASE : 126,92 (4)
PEMBAGIAN :
10% untuk Pemerintah Pusat : Rp 1.231.675.927,80 (5)
Dari jumlah yang disetor tersebut,
Kabupaten Tabanan mendapat bagian rata : Rp 3.629.235.184,00 (6)
90% untuk Pemerintah Daerah : Rp 11.085.083.350,20 (7)
dengan imbangan sbb :
16,20% untuk Provinsi : Rp 1.995.315.003,04 (8)
64,80% untuk Kabupaten/Kota : Rp 7.981.260.012,14 (9)
9% untuk biaya pemungutan : Rp 1.108.508.335,02 (10)
(Dirjen Pajak dan Pemda)
Total Realisasi Penerimaan Tahun 2011 ( 6 + 9 ) : Rp 11.610.495.196,14 (11)
Sumber Data : Dinas Pendapatan dan Pesedahan Agung Kabupaten Tabanan, 2012
Dari data tersebut di atas, terlihat bahwa realisasi PBB-P2 di Kabupaten Tabanan pada Tahun Anggaran 2011 adalah sebesar Rp 12.316.759.278,00 atau mencapai angka 126,92 % dari target yang ditetapkan sebesar Rp 9.704.083.718,00. Sedangkan jumlah potensi PBB-P2 yang ditetapkan dalam SPPT sebesar Rp 16.080.300.678,00 yang berasal dari sekitar 250.000 wajib pajak.
Angka (1) dianggap dapat menunjukkan potensi PBB-P2 secara keseluruhan di Kabupaten Tabanan sesuai dengan jumlah yang ditetapkan dalam SPPT sebesar Rp 16.080.300.678,00. Angka ini masih perlu dicermati. Berdasarkan informasi dari Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Bali dan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Tabanan, angka tersebut kemungkinan besar tidak sesuai dengan potensi PBB-P2 yang sebenarnya karena basis data PBB-P2 yang dimiliki oleh KPP Pratama Tabanan/Kanwil DJP Bali pada saat ini belum akurat. Fakta-fakta di lapangan juga mendukung pernyataan tersebut dimana masih cukup banyak ditemukan SPPT bermasalah yang berimplikasi pada timbulnya potensi pajak semu dan piutang pajak semu/fiktif, misalnya adanya SPPT ganda atas objek tanah yang sama dan adanya SPPT yang objek tanahnya tidak ditemukan. Proses pengalihan atau pemecahan hak atas tanah kadangkala tidak ditindaklanjuti penghapusan atau pemecahan data pemilik lama secara tuntas sehingga dapat menimbulkan SPPT ganda dimana SPPT atas nama pemilik baru telah diterbitkan, di sisi lain SPPT atas nama pemilik lama atas objek tanah yang sama juga tetap diterbitkan sehingga menimbulkan potensi dan piutang pajak semu yang tidak bisa ditagih. Adanya alamat yang tidal lengkap dan tidak jelas dalam SPPT juga mempengaruhi realisasi penerimaan. Ketidakakuratan data tersebut akan diverifikasi kembali oleh Kanwil DJP Bali bersama KPP Pratama Tabanan dengan melibatkan unsur terkait sebelum tahun pengalihan melalui kegiatan Pemutakhiran Basis Data PBB-P2.
Kegiatan pemutakhiran data ini dimaksudkan untuk memperoleh basis data PBB-P2 secara riil. Pemutakhiran data dilakukan dengan mengelompokkan data PBB-P2 menjadi 3 (tiga) bagian : pertama, data objek pajak/subjek pajak (PBB-P2) yang dinyatakan telah valid yang nantinya langsung dimasukkan dalam basis data PBB Kabupaten Tabanan; kedua, data objek pajak/subjek pajak (PBB-P2) yang bermasalah dan ada potensi untuk ditagih (misalnya ada kesalahan nama, luas dan alamat tidak jelas/lengkap) akan diperbaiki sesuai mekanisme yang berlaku sehingga nanti ketika diserahkan kepada Daerah pajaknya bisa dilunasi. Ketiga, data objek pajak/subjek pajak (PBB-P2) ganda atau fiktif yang menghasilkan potensi pajak dan piutang pajak semu dan tidak bisa ditagih. Data ini akan dihapuskan dari basis data PBB-P2 dan pajak terutang semu/fiktif yang masih tercatat saat ini akan dihapuskan dari daftar piutang pajak. Hasil akhir kegiatan pemutakhiran data ini kemungkinan besar akan mengurangi potensi PBB-P2 di Kabupaten Tabanan.
Angka (2) sebesar Rp 9.704.083.718,00 yang ditetapkan dalam SKB merupakan potensi PBB-P2 yang dapat direalisasikan/ditagih dalam tahun berjalan. Angka yang diformulasikan oleh Pusat ini juga sering disebut sebagai target penerimaan PBB-P2. Angka ini diperoleh dengan memperhitungkan aspek kondisi perekonomian daerah, data potensi tahun 2011 sesuai jumlah yang ditetapkan dalam SPPT, data realisasi penerimaan dan piutang PBB-P2 pada tahun sebelumnya. Apabila dipersentasekan, nilainya menjadi 57,73 % dari seluruh potensi yang ditetapkan dalam SPPT yang jumlahnya sebesar Rp 16.080.300.678,00. Pengamatan pada tahun-tahun sebelumnya juga menunjukkan bahwa target penerimaan ini berkisar pada angka 60 % dari seluruh potensi yang ditetapkan dalam SPPT. Pusat telah mengadakan evaluasi terhadap permasalahan dan kendala-kendala yang dihadapi di lapangan berkaitan dengan pola pemungutan PBB-P2 yang pada umumnya berujung pada tidak dapat dipenuhinya kewajiban perpajakan sesuai dengan jumlah yang diterbitkan dalam SPPT.
Angka (5) dan (6) juga perlu mendapat perhatian dalam melihat prospek PBB-P2 ke depan. Angka (5) sebesar Rp 1.231.675.927,80 menunjukkan kewajiban 10 % yang harus disetorkan untuk Pemerintah Pusat yang akumulasinya di Pusat kemudian sebanyak 65 % dibagikan lagi secara merata kepada seluruh Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia berdasarkan atas realisasi penerimaan PBB-P2 tahun berjalan sedangkan 35 % lainnya akan diberikan kepada Kabupaten/Kota yang mampu memenuhi target yang ditetapkan. Angka (6) sebesar Rp. 3.629.235.184,00 menunjukkan bagian rata yang diterima oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan. Angka-angka di atas menunjukkan adanya selisih yang signifikan antara nilai 10 % yang disetorkan untuk Pusat sebesar Rp 1.231.675.927,80 dengan bagian rata yang diterima pada Tahun Anggaran 2011 sebesar Rp. 3.629.235.184,00. Jumlah bagian rata yang diterima sekitar 3 (tiga) kali lipat dari jumlah yang disetorkan ke Pusat. Ini berarti bahwa dilihat dari sisi nominalnya, realisasi PBB-P2 di Kabupaten Tabanan jauh berada di bawah rata-rata Kabupaten/Kota lainnya di seluruh Indonesia. Kebijakan Pusat ini secara tidak langsung telah mensubsidi penerimaan Kabupaten Tabanan. Hal ini cukup wajar apabila dikaitkan dengan luas dan fungsi dominan wilayah Kabupaten Tabanan. Luasnya relatif lebih kecil dibandingkan dengan luas wilayah Kabupaten/Kota lainnya di Indonesia dan sebagian besar difungsikan untuk lahan pertanian sehingga NJOP yang ditetapkan juga relatif cukup rendah dalam rangka mencegah adanya alih fungsi lahan guna mempertahankan Tabanan sebagai lumbung berasnya Bali.
Angka (9) dan angka (11) juga perlu diperhatikan. Angka (9) sebesar Rp 7.981.260.012,14 menunjukkan pembagian yang diterima oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan persentase 64,8% dari realisasi. Apabila kewenangan pemungutan PBB P-2 ini nanti telah menjadi kewenangan Daerah, maka tidak ada lagi persentase yang diserahkan ke Pusat atau Provinsi. Seluruhnya menjadi kewenangan daerah. Angka (11) sebesar Rp. 11.610.495.196,14 menunjukkan realisasi penerimaan yang masuk ke Kas Daerah dan merupakan hak Pemerintah Kabupaten Tabanan. Angka tersebut diperoleh dari penjumlahan antara persentase 64,8% atau Rp 7.981.260.012,14 (angka 6) dan bagian rata yang diterima sebesar Rp. 3.629.235.184,00 (angka 9). Apabila dibandingkan antara realisasi penerimaan yang masuk ke Kas Daerah dengan realisasi PBB-P2 seluruhnya yang berjumlah Rp 12.316.759.278,00, maka akan didapatkan angka persentase 94,27 %. Angka ini juga dapat diartikan bahwa apabila tahun ini PBB-P2 telah dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan, maka akan ada tambahan pendapatan yang masuk ke Kas Daerah sebesar 5,73 % atau Rp 706.264.081,85, belum termasuk biaya operasional pengelolaan. Tambahan angka penerimaan yang relatif kecil, sementara cakupan kegiatan dan permasalahnnya sedemikian kompleks ini kelihatannya menjadi kurang bermakna apabila dikaitkan dengan potensi dan kondisi saat ini. Pengaruh pengalihan kewenangan pemungutan PBB-P2 ini akan baru kelihatan mempunyai makna apabila dalam beberapa tahun ke depan akan mampu meningkatkan realisasi penerimaan PBB-P2 secara signifikan.
IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP REALISASI PENERIMAAN PBB-P2
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, adalah tidak mudah untuk mengestimasi realisasi penerimaan PBB-P2 dalam bentuk angka-angka pasti setelah menjadi kewenangan daerah mengingat belum akuratnya basis data PBB-P2 yang secara keseluruhannya berjumlah sekitar 250.000 wajib pajak. Meskipun demikian, untuk memperoleh gambaran awal kiranya perlu diidentifikasi dan dipahami beberapa faktor yang berpeluang untuk meningkatkan dan mengurangi realisasi penerimaan.
1. Faktor-faktor yang berpeluang untuk meningkatkan realisasi penerimaan
a. Adanya potensi objek bangunan yang baru dibangun dan belum terdata serta belum dimasukkan dalam komponen penilaian dan perhitungan pengenaan PBB-P2 merupakan potensi yang cukup menjanjikan
b. Adanya kemungkinan untuk melakukan evaluasi dan penilaian kembali terhadap NJOP tanah dan bangunan yang telah dijadikan komponen pengenaan tarif PBB-P2 setidak-tidaknya dalam waktu 3 (tiga) tahun sekali sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Penilaian kembali yang outputnya bisa berdampak pada kenaikan PBB-P2 perlu dilakukan secara hati-hati dan bijak. Tahapan sosialisasi perlu dilakukan lebih awal agar masyarakat memahami metode penilaian yang digunakan sebagai dasar penghitungan pajak dan pada akhirnya memiliki kesadaran akan kewajiban perpajakannya.
c. Masih adanya beberapa objek pajak yang belum terdata dalam SISMIOP dan adanya kesalahan SPPT yang menyebabkan wajib pajak tidak dapat melaksanakan kewajiban perpajakannya juga nanti berpotensi untuk meningkatkan realisasi penerimaan ke depan setelah dilakukan pemutakhiran data/pendataan ulang.
d. Adanya potensi pengembangan pembangunan perumahan dan tempat usaha, khususnya di kawasan sekitar kota dan daerah pariwisata.
e. Adanya ketentuan yang memperbolehkan untuk melakukan penilaian kembali setiap 1 (satu) tahun bagi daerah-daerah yang perkembangannya pesat seperti di kawasan perkotaan, kawasan pariwisata dan kawasan pengembangan ekonomi lainnya.
2. Faktor-faktor yang berpotensi untuk mengurangi realisasi penerimaan
a. Adanya SPPT ganda terhadap objek pajak yang sama menghasilkan potensi pajak dan piutang pajak semu. Kondisi ini mengurangi realisasi dari akumulasi potensi yang ditetapkan dalam SPPT.
b. Adanya SPPT terbit yang objek tanahnya tidak ada di lapangan sehingga menghasilkan potensi dan piutang pajak fiktif. Kondisi ini juga mengurangi realisasi dari akumulasi potensi yang ditetapkan dalam SPPT.
c. Adanya SPPT terbit yang alamat subjek/wajib pajaknya jelas dan tidak ditemukan di lapangan sehingga pajaknya tidak bisa ditagih.
d. Adanya kebijakan untuk mengurangi tarif pajak PBB-P2 sebesar 50 % untuk tanah di kawasan jalur hijau.
e. Adanya kebijakan untuk menurunkan NJOP tanah pertanian yang berada di blok-blok tanah tertentu pada kawasan strategis dalam rangka mencegah alih fungsi lahan dan mempertahankan predikat Kabupaten Tabanan sebagai lumbung pangannya Bali. Penilaian atas objek tanah tersebut dilakukan dengan menggunakan pendekatan hasil produksi/nilai jual pengganti.
f. Adanya pertimbangan kemampuan membayar Wajib Pajak atau kondisi tertentu objek pajak (lahan pertanian yang sangat terbatas, bangunan ditempati sendiri yang dikuasai atau dimiliki oleh golongan Wajib Pajak tertentu).
g. Adanya objek pajak yang terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa.
h. Kondisi perekonomian daerah dan keadaan iklim yang kurang kondusif yang mengakibatkan kegagalan panen juga dapat mengakibatkan adanya penundaan pembayaran PBB-P2 sehingga mengurangi realisasi penerimaan.
i. Adanya permohonan pengurangan/keberatan yang dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Memperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap realisasi penerimaan PBB-P2, baik faktor-faktor yang berpeluang meningkatkan maupun mengurangi realisasi penerimaan, maka dapat dikatakan bahwa pengelolaan PBB-P2 menjadi Pajak Daerah di Kabupaten Tabanan merupakan suatu peluang yang cukup menjanjikan dalam upaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah ke depan. Peluang peningkatan yang cukup signifikan terutama karena adanya pengembangan kawasan perkotaan, kawasan pariwisata dan kawasan pengembangan ekonomi lainnya yang menyebabkan tumbuh pesatnya objek-objek pajak bangunan baru yang akan memicu kenaikan NJOP. Pembenaran basis data PBB-P2 dan metode penilaian objek pajak disamping akan mampu memenuhi rasa keadilan dalam melaksanakan kewajiban perpajakan, juga berpotensi untuk meningkatkan pendapatan daerah.
Berdasarkan uraian dan pembahasan singkat di atas, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Pengalihan kewenangan pengelolaan PBB-P2 menjadi Pajak Daerah Kabupaten/Kota didasarkan pada pertimbangan optimalisasi pemungutan dan efektivitas kinerja Direktorat Jenderal Pajak serta upaya mendorong Pemerintah Daerah untuk berkreasi serta mampu melakukan inovasi-inovasi dalam rangka menggali potensi PBB-P2 yang dimiliki.
2. Pengalihan kewenangan pengelolaan PBB-P2 menjadi Pajak Daerah sangat menguntungkan bagi Kabupaten/Kota yang berada di kawasan kota-kota besar dan kawasan strategis lainnya dan sangat merugikan bagi Kabupaten/Kota yang wilayahnya cukup tertinggal dan tidak potensial.
3. Prospek pengelolaan PBB-P2 setelah menjadi Pajak Daerah Pemerintah Kabupaten Tabanan belum dapat diestimasikan dengan angka-angka secara pasti karena ketidakakuratan basis data PBB-P2 yang ada pada saat ini.
4. Memperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap realisasi penerimaan PBB-P2, maka dapat dikatakan bahwa pengelolaan PBB-P2 menjadi Pajak Daerah di Kabupaten Tabanan merupakan suatu peluang yang cukup menjanjikan ke depan dalam upaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah yang secara langsung akan berdampak pada peningkatan kapasitas fiskal daerah.