Komisi I dan Komisi IV DPRD Tabanan mengundang Dinas Kesehatan Kabupaten Tabanan dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Tabanan untuk membahas terkait adanya dugaan kelalaian oknum tenaga medis di Kecamatan Pupuan, Tabanan, yang mengakibatkan seorang warga meninggal dunia, Selasa (1/10/2022). Dimana seorang warga yang menderita lipoma (tumor jinak) dibagian kepala melakukan operasi bedah minor di tempat praktik dokter swasta di Kecamatan Pupuan.
Ketua Komisi IV DPRD Tabanan, I Gusti Komang Wastana bersama Ketua Komisi I DPRD Tabanan I Putu Eka Putra Nurcahyadi menyampaikan bahwa pihaknya mengundang instansi terkait guna mengetahui secara pasti kronologi adanya peristiwa seorang warga di Kecamatan Pupuan yang meninggal dunia setelah mendapatkan penanganan medis oleh salah seorang oknum dokter. “Kita juga ingin memastikan apakah sudah sesuai SOP atau belum,” ujarnya.
Ditambahkan oleh anggota Komisi I DPRD Tabanan, I Gede Purnawan, jika adanya warga Desa Padangan, Kecamatan Pupuan, Tabanan yang meninggal dunia usai menjalani tindakan ia dengar Sabtu (29/10/2022) sore saat sepulang dirinya dari Bimtek. Dimana pasien yang berusia sekitar 40 tahunan tersebut kebetulan masih memiliki hubungan keluarga dengannya. “Saat mau dikubur sore, jam 6 saya datang dari Bimtek dapat info kalau ada yang meninggal. Seusai penguburan, suami korban datang ke rumah saya, saya tanya lah kronologinya,” jelasnya.
Kata dia, suami korban pasien menceritakan jika peristiwa itu bermula ketika sekitar pukul 17.00 WITA, pasien datang ke praktek pribadi oknum dokter berinisial dr. S dengan keluhan ada benjolan pada kepala. Kemudian diputuskan untuk dilakukan pembedahan. Setelah dilakukan pembedahan, pasien mengalami kejang sehingga dirujuk ke Puskesmas Pupuan I. Sayangnya nyawa pasien tidak bisa diselamatkan dan dinyatakan meninggal dunia.
“Sebelum pembedahan saya tanya, apakah diberikan semacam surat persetujuan atau apa, dan dijawab tidak. Kemudian suami pasien ini menunjukkan saya video saat pembedahan yang dia ambil seijin dengan dr. S ini. Diperlihatkanlah benjolan di kepala pasien ukurannya sekitar 5 cm,” imbuhnya.
Purnawan kemudian kembali menanyakan kepada suami pasien, apakah dokter tersebut sempat menanyakan apakah ade alergi obat sebelum mengambil tindakan atau sejenisnya? Lagi-lagi suami pasien menjawab tidak. Sehingga pihaknya sangat menyayangkan hal tersebut. Apalagi jarak dari pengambil tindakan hingga meninggal dunia sangat singkat yakni hanya sekitar 30 menit, dengan perkiraan pengambilan tidakan oleh dr. S hanya sekitar 10 menit, kemudian pasien kejang lalu dibawa ke Puskesmas Pupuan I yang membutuhkan waktu sekitar 10 menit. “Sebab saat tiba di Puskesmas Pupuan I kondisi pasien ini sudah sangat memprihatinkan sampai dinyatakan meninggal dunia,” sebutnya.
Kemudian, setelah pasien meninggal, sang suami pun meminta pertanggungjawaban kepada dr. S, yang mana keluarga meminta konpensasi sebesar Rp 200 Juta. Namun tidak disanggupi oleh oknum dokter tersebut dan ditawarkan untuk memberikan santunan sebesar Rp 1 Juta seumur hidup kepada keluarga pasien.
Pasca peristiwa itu, masyarakat khususnya di Desa Padangan pun resah. Terlebih selama ini hampir 80 persen masyarakat Desa Padangan berobat ke tempat praktek dr. S tersebut. Apalagi ada dugaan, terjadi intervensi terhadap suami pasien sehingga video pembedahan yang dimiliki telah dihapus. “Ini kok malah seperti peristiwa kecelakaan lalu lintas ya, yang menabrak memberi ganti rugi. Saya sih berharap tidak ada malpraktik dalam peristiwa ini. Sehingga pihak terkait kita undang agar tidak hanya bisa memberi penjelasan kepada masyarakat tapi juga memberikan bukti yang betul-betul valid. Bila perlu ada tim yang kita buat sendiri untuk menelusuri ini agar dibuka segamblangnya-gamblangnya,” tegas Purnawan.
Atas pertanyaan-pertanyaan dari para legislator tersebut, dr. S yang turut hadir dalam rapat tersebut langsung menjelaskan kronologi peristiwa yang melibatkannya. Menurutnya, ia melakukan tindakan medis sudah sesuai dengan prosedur. Namun memang ada ketidakjujuran pasien saat ditanya mengenai riwayat kesehatan sebm dilakukan tindakan. Diantaranya saat ditanya apakah memiliki riwayat sesak nafas, pasien mengatakan tidak. Begitu juga saat ditanya apakah memiliki alergi obat dan dada sering berdebar. Lagi-lagi pasien menjawab tidak.
“Maka kita buat analisa, kita buat Informed Consent (persetujuan oleh pasien atau keluarga), lalu kita lakukan tindakan. Setelah dianastesi, saya lakukan penorehan di tempat limpoma (benjolan) 4 cm, tapi belum menyembul limpomanya nafas pasien mulai berat dan sesak. Saya langsung tekan torehannya dan panggil suaminya diluar. Saya ambil obat injeksi, siapkan oksigen sambil menelpon ambulan,” terangnya.
Menurutnya, sembari menunggu ambulan dirinya pun tetap melakukan penanganan terhadap pasien dengan memasukkan oksigen, dan menyuntikkan adrenalin. Tapi kesadaran pasien mulai menurun sehingga kita berikan RJP. Di dalam ambulan, dr. S kemudian memompa pasien. Setibanya di puskesmas pun pasien langsung ditangani dengan memasang infus, oksigen, lalu diberikan RJP dan diberi suntikan anaphilactic (syok akibat alergi yang berat). Tapi jam 6 pasien dinyatakan meninggal dunia. Torehan pada kepala pasien kemudian dijarit di Puskesmas Pupuan I dan saat itu memang suami pasien sempat mendokumentasinya.
Sedangkan mengenai adanya tawaran ganti rugi Rp 1 Juta per bulan untuk keluarga pasien, dr. S mengatakan jika setelah pasien dinyatakan meninggal dunia, suami pasien datang ke rumahnya dan meminta tanggungjawab dokter tersebut dan meminta kompensasi Rp 200 Juta. “Waktu itu suami pasien menyampaikan ke mertua saya, kalau mereka minta uang Rp 200 Juta, lalu saya dipanggil oleh mertua saya, dan saya bilang tidak mau. Karena memang kejadiannya ini adalah syok anaphilatic dan saya sudah bekerja sesuai SOP. Tapi mungkin saat itu semua panik, saya jadi bilang ‘kalau misalnya saya kasi bapak Rp 1 Juta per bulan bagaimana?’ Tapi saat itu tidak ada kesepakatan apa-apa. Karena saya minta keluarga fokus menangani (upakara) pasien dulu, dan bicarakan nanti kalau sudah selesai,” terangnya. Dan sebagai bentuk empati kepada pasien, dr. S kemudian memberikan uang duka sebesar Rp 5 Juta kepada keluarga pasien.
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Tabanan, dr. I Nyoman Susila mengatakan bahwa peristiwa itu diketahui keesokan harinya atau hari Minggu (30/10/2022). Dimana pihaknya langsung melakukan rapat dengan IDI Tabanan untuk membahas mengenai regulasi dan SOP yang dilakukan oleh dr. S. Dimana hasilnya diketahui jika dr. S telah memiliki SIP (Surat Izin Praktek) dan jika dilihat dari kewenangan, dokter umum di faskes tingkat 1 memang boleh melakukan tindakan bedah minor dengan ukuran kurang dari 6 cm. “Dari segi kewenangan beliau berwenang, dan beliau sudah mengerjakan sesuai SOP, mulai dari memberikan penjelasan kepada pasien mengenai resiko tindakan serta sudah meminta persetujuan pasien. Namun memang syok anaphilatic ini bisa terjadi pada siapa saya, dan jika terjadi waktunya sangat pendek untuk bisa menolong,” bebernya.
Kendatipun, kuat dugaan jika pasien mengalami syok anaphilatic sehingga meninggal dunia, pihak terkait diminta dapat turun langsung ke lapangan untuk memberikan penjelasan dan pemahaman kepada masyarakat, khususnya yang ada di Desa Padangan agar isu yang muncul tidak semakin liar.